Monumen.id – Tentang penerapan konsep keadilan restoratif (restorative justice) di tengah – tengah masyarakat masih terdengar asing. Maka untuk lebih jelasnya lagi, mari kita ulas secara singkat apa yang disebut dengan keadilan restoratif. Keadilan restoratif secara teori dan praktik sudah dikenal pada akhir tahun 1970. Konsep ini digagas pertama sekali oleh Howard J Zehr seoran kriminolog Amerika, yang kemudian menjadikannya sebagai The Pioneer of Modern Concept Restorative Justice. Howard mengawali advokasi/pembelaan dengan menjadikan kebutuhan korban sebagai “pusat” dari praktik keadilan restoratif.
Sedangkan dalam hukum positif kita sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU SPPA dijelaskan bahwa: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.
Daftar Isi
Keadilan Sumut Restorative Justice
Prinsip utama dari keadilan restorasi adalah menggeser fokus dari hukuman dan pembalasan semata kepada penyelesaian masalah dan pemulihan. Dalam sistem tradisional, biasanya pelaku dihukum dengan hukuman penjara atau denda, sementara korban sering kali merasa tidak puas dengan hasilnya dan dampak jangka panjang tetap ada.
Dalam pendekatan keadilan restorasi, terjadi dialog antara korban, pelaku, dan komunitas untuk membahas konsekuensi tindakan kriminal dan mencari solusi yang sesuai untuk semua pihak. Ini dapat mencakup permintaan maaf, restitusi, atau tindakan lain yang membantu memperbaiki dampak tindakan tersebut. Pendekatan ini berusaha untuk mendorong pertanggungjawaban dan belajar dari kesalahan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat pengulangan kejahatan.
Selanjutnya, keadilan restorasi di Sumut harus lebih aktif ditingkatkan disebabkan Sumut banyak ditemukan perkebunan sawit milik korporasi/perusahaan yang berdekatan langsung dengan pemukiman penduduk. Kasus yang sering kita dengar yaitu pencurian brondolan sawit dianggap oleh perusahaan merupakan suatu perkara tindak pidana yang wajib di bawa ke pengadilan, padahal pencurian brondolan sawit dapat diselesaikan dengan cara pendekatan keadilan restorasi. Memang persyaratan utamanya harus terdapat kerendahan hati oleh perusahaan untuk memaafkan bagi pencuri brondolan sawit dengan mekanisme syarat – syarat tertentu yang disepakati di antara pelaku dan korban (perusahaan).
Sampai di Tingkat Desa
Rumah Restorative Justice/keadilan restorasi sampai di tingkat desa harus menjadi demi keadilan khusususnya kepada penduduk desa yang berdampingan dengan perkebunan sawit milik perusahaan. Program Rumah Restorative Justice bukan hanya untuk mengadvokasi konflik masyarakat dengan perusahaan, tetapi berfungsi untuk mengedukasi masyarakat tentang norma hukum serta pentingnya dialog dan mediasi dalam menyelesaikan perkara tindak pidana. Dalam pidato Bobby Nasution di acara pelantikan Pengurus DPC Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia (AKSI) di Kabupaten Simalungun beberapa hari lalu mengisyaratkan, keseriusannya untuk membela masyarakat kelas bawah dengan membentuk Rumah Restorative Justice hingga ke tingkat desa dimulai dari Kabupaten Simalungun.
Penutup
Pidato Bobby yang lembut dan persuasif tentu saja dapat dipahami oleh kelompok masyarakat di sana. Dengan penuh harap, mari bersama – sama mendorong Bobby Nasution untuk segera merealisasikan Rumah Restorarive Justice di penjuru desa Sumut agar penyelesaian perkara tindak pidana yang terkesan “remeh – temeh “ tak menjadi tindak pidana besar yang seolah olah hanya dapat diselesaikan dengan membawanya ke meja pengadilan.